Rabu, Desember 12, 2007

Apa yang terjadi dengan para Atlet kita?

Refleksi SEA Games XXIV-2007 Nakhon Ratchasima, Thailand


Tidak ada lagi kebanggaan kita di ajang Sea Games. Berturut-turut dalam 3 kali penyelenggaran pesta olahraga ini Indonesia kian terpuruk. Dan tahun ini merupakan posisi paling buruk yang dialami oleh bangsa ini.

Walaupun sejak awal Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault mencanangkan untuk merepubut posisi puncak di ajang ini, namun apa mau dikata ternyata Indonesia terpuruk juga. Bahkan Sepakbola yang digadang-gadang untuk meraih emas, sudah gagal di babak awal.

Apa yang salah?
Jelas pembinaan. Mensitir judul Kompas, Selasa, 6 desember 2007 “Pembinaan Tipu-tipu” terasa benar, bahwa pembinaan olahraga kita memang sudah tidak terarah. Atlet yang dihasilkan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sementara dana yang dikeluarkan sudah luar biasa. Kalau alasan, kurangnya waktu untuk latihan atau tidak ada uji coba atau try out kepada para atlet, saya pikir hanyalah sekedar mencari kambing hitam belaka. Non sense.Padahal uang yang digunakan adalah uang rakyat, pajak dari rakyat.

Kita sebagai bangsa Indonesia sepertinya sekarang harus mulai sadar, bahwa era ini kita berada pada titik paling bawah dalam kesadaran berbangsa dan bertanah air. Dimana-mana bangsa kita dihina. Dipandang sebelah mana. Prestasi yang ada juga, walaupun membuat kita bangga malah dianggap sebelah mata. Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan. Ayo kita bangkit. Gelorakan semangat untuk juga me –REVOLUSI OLAHRAGA- kita.

(Tulisan ini dibuat tatkala Sea Games belum berakhir. Tapi apapaun hasilnya, Indonesia tetap akan terpuruk, paling banter akan menduduki urutan ke empat atau kelima, tapi mungkinkah. Enam saja sudah bagus?)

Tabik.

Saya kutipkan Tulisan Kompas tentang pembinaan tipu-tipu ini :
Kamis, 06 Desember 2007

Pembinaan Tipu-tipu

Nakhon Ratchasima, Kompas — Sejak setahun lalu, kegagalan di SEA Games XXIV-2007 Nakhon Ratchasima, Thailand, sudah dapat diperkirakan. Bukan melalui petunjuk dukun atau berdasarkan wangsit, tetapi dari keseharian pembinaan di tiap cabang. Nyaris tidak ada program nyata untuk mengembalikan kejayaan prestasi olahraga Indonesia.

Tidak lama setelah kegagalan memalukan di SEA Games XXIII Manila 2005, ributlah soal bagaimana pembinaan yang tepat dan sebaiknya segera dilaksanakan agar kegagalan serupa tidak terulang di Thailand dua tahun mendatang. Waktu itu, untuk pertama kalinya kontingen Indonesia nyungsep ke posisi kelima dari seluruh 11 negara peserta.

Hasil terparah sepanjang kiprah Indonesia di arena SEA Games tahun 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Waktu itu, Indonesia yang muka baru di arena pesta olahraga dua tahunan se-Asia Tengara langsung membuat kejutan dengan meraup medali terbanyak dan tampil sebagai juara umum.

Kejayaan itu terus berlanjut dari SEA Games ke SEA Games. Selama 20 tahun dalam rentang waktu 1977-1997 hanya dua kali Indonesia jatuh ke peringkat kedua. Seluruhnya terjadi di Thailand tahun 1985 di Bangkok dan 1995 di Chiang Mai. Maka, ketika di SEA Games XX 1999 Brunei Darussalam, Indonesia untuk pertama kalinya terlempar dari dua besar dan terpaksa puas di urutan ketiga.

Hasil itu sungguh mengejutkan dan memalukan. Dari situ, ada sedikit upaya untuk naik peringkat. Akan tetapi, apa daya krisis moneter menghantam dan pembinaan olahraga Indonesia pun terkena dampaknya. Jadi, dua tahun kemudian di Kuala Lumpur, posisi Indonesia bukan menanjak malah menurun.

Namun, belum terlalu parah dibandingkan dengan hasil di Manila 2005 yang peringkat kelima. Pencapaian menyesakkan dan luar biasa memalukan. Maka, tekad untuk memperbaiki peringkat pun segera dicanangkan. Hanya saja, bukan dengan memikirkan bagaimana memajukan para yunior. Yang terpikir justru crash program, seperti mengirim atlet dan tim untuk latihan ke luar negeri.

Kompetisi? Bukan rencana mereka. Lebih penting latihan di luar negeri, dapat uang saku, dan belanja. Bagaimana dengan prestasi? Itu soal nomor sekian, entah ke berapa. Sangat lazim para pengurus induk olahraga mengirim atlet nasional Indonesia ke negeri seberang untuk berlaga di kejuaraan antar-SMA atau perguruan tinggi, bukan turnamen berskala nasional atau internasional.

"Percuma latihan terus tanpa sempat ikut turnamen. Tidak akan punya mental bertanding. Memangnya mau berapa lama ditanam latihan di luar negeri kalau tanpa bertanding dan ikut sirkuit," ungkap pelatih tenis meja Putri Hasibuan. Dia mencontohkan, semasa dirinya masih menjadi petenis meja nasional, sangat sering dia ikut berbagai kejuaraan di luar negeri. Begitu pula di dalam negeri.

Tiap kali bertanding, mereka akan menemui beragam tipe lawan. Kalau hanya bagus di latihan tanpa pernah menjajal ketangguhan kompetitor, bagaimana mungkin mereka mengatasi demam panggung kala menghadapi rival yang peringkatnya lebih tinggi. Pasti akan sulit juga memiliki insting untuk keluar dari tekanan, terutama dalam keadaan genting dan kritis.

Data mengecoh

Wakil Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia Indra Kartasamita, Rabu (5/12), mengatakan, sudah biasa pengurus induk olahraga mengajukan proposal untuk uji coba ternyata sesudah di sana hanya berlatih tanpa sempat berkompetisi sekalipun. Tidak jarang mereka memberikan data yang mengecoh soal prestasi atletnya.

"Jadi, yang ada di kepala mereka adalah berbuat curang, bagaimana mengeruk duit dan menghamburkan uang rakyat. Sering kali mereka mengatakan atletnya menduduki peringkat atas di Asia dalam kejuaraan anu. Ternyata, si atlet hanya diturunkan di kejuaraan tingkat daerah dan itu pun hanya untuk para pelajar. Ditambah lagi mereka dengan yakin mengatakan akan meraih prestasi tertentu hanya dengan latihan singkat. Setahu saya, untuk mementaskan seorang juara, perlu waktu bertahun-tahun, bukan dengan langkah instan," ujar Indra yang juga pernah menjabat di Pengurus Besar Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (PB Porlasi).

(Ida Setyorini, dari Nakhon Ratchasima)

Tidak ada komentar: