Senin, Desember 31, 2007

Happy New Year 2008

Apapun yang telah berlalu, semunya tinggal sejarah.
Yang kini harus dilakukan adalah meniti sejarah baru.
Berusaha mewujudkan harapan baru.
Apapun itu.
Yang lalu biarlah berlalu,
biarlah dia menjadi sepenggal jejak.

Happy New Year 2008!

Rabu, Desember 19, 2007

Lebaran Haji

Tak terasa, sudah lebarah haji.
Selamat merayakannya. Semoga yang berhaji menjadi haji yang mabrur.
Yang berbeda hari saat merayaknnya, gak usah dipikirkan. Toh, semangatnya tetap sama.
Mohon maaf lahir batin.

Jumat, Desember 14, 2007

TENTANG SEPAKBOLA INDONESIA

Sungguh mengecewakan memang kinerja PSSI. Setelah kegagalan tim nasional senior maupun junior di berbagai level kejuaraan, saat ini bangsa ini juga harus dihadapkan kenyataan bahwa tidak adanya wakil Indonesia di Liga Champion Asia (LCA). PSSI merasa tidak bersalah, bahkan malah berbalik menyalahkan AFC. PSSI malah mengkambinghitamkan kompetisi internasional yang notabene sudah terjadwal reguler. Sementara kompetisi lokal (LIGINA) sering maju mundur, seiring dengan kemauan (sebagian pengurus) PSSI saja.

Menyesakkan. Kita sebenarnya harus berbangga, kalau kompetisi LIGINA kita adalah salah satu kompetisi yang paling kompetitif di Asia. Kalau soal penonton, kita tidak kalah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Barat atau Asia Timur, yang begitu memuja sepakbola.

Belum lagi soal kualitas pemain. Saya melihat sendiri (dan termasuk penonton setia LIGINA), bahwa pemain-pemain kita sudah banyak kemajuan. Mulai dari skill maupun taktik. Sayangnya memang pengelolaan sepakbola kita masih sangat lemah. Kita tergantung pada orang. Padahal harusnya sistemnya yang harus mengatur semua itu.

Alasan dana, saat ini bukanlah alasan yang tepat, karena kalau sebuah kesebelasan menampilkan permainan yang berkualitas, sposor pasti akan datang. Tapi pengurusnya tentu saja jangan buru-buru dulu memikirkan kantong mereka. Dana ini harus dikelola dengan baik.

Saat ini sebagian kesebelasan yang bertarung di divisi utama, sudah mengarah ke manajemen professional. Tiket dikelola dengan baik, asesoris dijual di tempat-tempat khusus dan sebagainya. Dan ini menunjukkan adanya sebuah perbaikan. Memang masalah utama saat ini, tim-tim masih banyak tergantung pada APBD. Ini yg juga menjadi masalah.

Namun untuk pemain, saya yakin, kita tidak akan kekurangan stok pemain. Walaupun banyak pemain asing, namun tidak akan mematikan tim nasional, karena sepertinya para pemain kita sudah banyak menyerap ilmu dari mereka.

Namun itu tadi, percuma saja, tim-tim kita berrjibaku di kompetisi lokal, namun tidak pernah merasakan pertarungan dengan tim-tim negara lain, minimal di tingkat asia. Kalau mau kita bandingkan, tim-tim eropa sangat bersemangat bila mereka main di kejuaraan eropa semacam Champion atau UEFA. Pasalnya, dengan itu mereka (terutama tim-tim kecil) bisa menguji tim mereka, apalagi kalau bermain dengan kesebelasan yang mempunyai nama besar. Para pemain tentu akan bermain sebaik mungkin, walaupun nantinya kesebelasan mereka kalah. Namun secara individu mereka akan memiliki kredit poin tersendiri, terutama para pencari bakat kesebelasan-kesebelasan besar, sehingga nantinya mereka dilirik untuk ditransfer.

Makanya, di satu sisi, saya kasihan melihat pemain kita. Sampai sat ini saya belum pernah lagi mendengar ada pemain kita yang dikontrak kesebelasan dari luar Indonesia. terakhir mungkin Bambang pamungkas, Elly aiboy, Ponario serta Ilham yang dikontrak tim-tim Malaysia.
Padahal saat ini, puluhan pemain muda berbakat sebenarnya bisa disetarakan dengan para pemain dari Timur Tengah maupun Korea dan Jepang. Sebut saja Atep, Eka Ramdani, dan Arif suyono. Belum lagi Toni sucipto dan skuad tim U 23. Tidak hanya itu pemain seniornya juga sebenarnya sangat layak bertanding di level internasional, seperti BP, Aliyudin, Elly aiboi, Ortisan, Alex Pulalo, Ponario, Firman Utina dan Zenal Arief. Mungkin yang tenggelam sekarang adalah Ilham dan Boaz. Padahal mereka adalah pasangan yang sangat mematikan di Piala Tiger. Boaz terus bergelut dengan cidera. Sementara Ilham sepertinya belum menemukan tandemnya di Persita.

Nah, dengan kondisi tersebut, seharusnya PSSI terus berbenah. Kita sudah punya SDM dan organisasi tapi sayang memang orang-orangnya. Saya pernah bermimpi, kita juga mengekspor para pemain, seperti halnya negara-negara di Amerika Selatan dan Afrika. Sayang, untuk beberaap tahun kedepan mimpi tersebut tidak akan terwujud. Jika kroni Nurdin CS masih di PSSI.

Mungkin memang harus ada potong generasi di kepengurusan PSSI. Tidak perlu tokoh, namun orang-orang yang benar-benar gila Bola dan tau bola.

Ayo kita dukung REVOLUSI di tubuh PSSI! Jangan biarkan Kompetisi yang mengalir tanpa makna, mengingat tim-tim kita yang menjadi pemenang tidak dapat bertanding dengan tim dari negara lain. Ayo, JANGAN CEPAT PUAS DENGAN DIRI SENDIRI. STOP NARSIS.

Palembang, 14 Desember 2007.

Rabu, Desember 12, 2007

Apa yang terjadi dengan para Atlet kita?

Refleksi SEA Games XXIV-2007 Nakhon Ratchasima, Thailand


Tidak ada lagi kebanggaan kita di ajang Sea Games. Berturut-turut dalam 3 kali penyelenggaran pesta olahraga ini Indonesia kian terpuruk. Dan tahun ini merupakan posisi paling buruk yang dialami oleh bangsa ini.

Walaupun sejak awal Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault mencanangkan untuk merepubut posisi puncak di ajang ini, namun apa mau dikata ternyata Indonesia terpuruk juga. Bahkan Sepakbola yang digadang-gadang untuk meraih emas, sudah gagal di babak awal.

Apa yang salah?
Jelas pembinaan. Mensitir judul Kompas, Selasa, 6 desember 2007 “Pembinaan Tipu-tipu” terasa benar, bahwa pembinaan olahraga kita memang sudah tidak terarah. Atlet yang dihasilkan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sementara dana yang dikeluarkan sudah luar biasa. Kalau alasan, kurangnya waktu untuk latihan atau tidak ada uji coba atau try out kepada para atlet, saya pikir hanyalah sekedar mencari kambing hitam belaka. Non sense.Padahal uang yang digunakan adalah uang rakyat, pajak dari rakyat.

Kita sebagai bangsa Indonesia sepertinya sekarang harus mulai sadar, bahwa era ini kita berada pada titik paling bawah dalam kesadaran berbangsa dan bertanah air. Dimana-mana bangsa kita dihina. Dipandang sebelah mana. Prestasi yang ada juga, walaupun membuat kita bangga malah dianggap sebelah mata. Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan. Ayo kita bangkit. Gelorakan semangat untuk juga me –REVOLUSI OLAHRAGA- kita.

(Tulisan ini dibuat tatkala Sea Games belum berakhir. Tapi apapaun hasilnya, Indonesia tetap akan terpuruk, paling banter akan menduduki urutan ke empat atau kelima, tapi mungkinkah. Enam saja sudah bagus?)

Tabik.

Saya kutipkan Tulisan Kompas tentang pembinaan tipu-tipu ini :
Kamis, 06 Desember 2007

Pembinaan Tipu-tipu

Nakhon Ratchasima, Kompas — Sejak setahun lalu, kegagalan di SEA Games XXIV-2007 Nakhon Ratchasima, Thailand, sudah dapat diperkirakan. Bukan melalui petunjuk dukun atau berdasarkan wangsit, tetapi dari keseharian pembinaan di tiap cabang. Nyaris tidak ada program nyata untuk mengembalikan kejayaan prestasi olahraga Indonesia.

Tidak lama setelah kegagalan memalukan di SEA Games XXIII Manila 2005, ributlah soal bagaimana pembinaan yang tepat dan sebaiknya segera dilaksanakan agar kegagalan serupa tidak terulang di Thailand dua tahun mendatang. Waktu itu, untuk pertama kalinya kontingen Indonesia nyungsep ke posisi kelima dari seluruh 11 negara peserta.

Hasil terparah sepanjang kiprah Indonesia di arena SEA Games tahun 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Waktu itu, Indonesia yang muka baru di arena pesta olahraga dua tahunan se-Asia Tengara langsung membuat kejutan dengan meraup medali terbanyak dan tampil sebagai juara umum.

Kejayaan itu terus berlanjut dari SEA Games ke SEA Games. Selama 20 tahun dalam rentang waktu 1977-1997 hanya dua kali Indonesia jatuh ke peringkat kedua. Seluruhnya terjadi di Thailand tahun 1985 di Bangkok dan 1995 di Chiang Mai. Maka, ketika di SEA Games XX 1999 Brunei Darussalam, Indonesia untuk pertama kalinya terlempar dari dua besar dan terpaksa puas di urutan ketiga.

Hasil itu sungguh mengejutkan dan memalukan. Dari situ, ada sedikit upaya untuk naik peringkat. Akan tetapi, apa daya krisis moneter menghantam dan pembinaan olahraga Indonesia pun terkena dampaknya. Jadi, dua tahun kemudian di Kuala Lumpur, posisi Indonesia bukan menanjak malah menurun.

Namun, belum terlalu parah dibandingkan dengan hasil di Manila 2005 yang peringkat kelima. Pencapaian menyesakkan dan luar biasa memalukan. Maka, tekad untuk memperbaiki peringkat pun segera dicanangkan. Hanya saja, bukan dengan memikirkan bagaimana memajukan para yunior. Yang terpikir justru crash program, seperti mengirim atlet dan tim untuk latihan ke luar negeri.

Kompetisi? Bukan rencana mereka. Lebih penting latihan di luar negeri, dapat uang saku, dan belanja. Bagaimana dengan prestasi? Itu soal nomor sekian, entah ke berapa. Sangat lazim para pengurus induk olahraga mengirim atlet nasional Indonesia ke negeri seberang untuk berlaga di kejuaraan antar-SMA atau perguruan tinggi, bukan turnamen berskala nasional atau internasional.

"Percuma latihan terus tanpa sempat ikut turnamen. Tidak akan punya mental bertanding. Memangnya mau berapa lama ditanam latihan di luar negeri kalau tanpa bertanding dan ikut sirkuit," ungkap pelatih tenis meja Putri Hasibuan. Dia mencontohkan, semasa dirinya masih menjadi petenis meja nasional, sangat sering dia ikut berbagai kejuaraan di luar negeri. Begitu pula di dalam negeri.

Tiap kali bertanding, mereka akan menemui beragam tipe lawan. Kalau hanya bagus di latihan tanpa pernah menjajal ketangguhan kompetitor, bagaimana mungkin mereka mengatasi demam panggung kala menghadapi rival yang peringkatnya lebih tinggi. Pasti akan sulit juga memiliki insting untuk keluar dari tekanan, terutama dalam keadaan genting dan kritis.

Data mengecoh

Wakil Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia Indra Kartasamita, Rabu (5/12), mengatakan, sudah biasa pengurus induk olahraga mengajukan proposal untuk uji coba ternyata sesudah di sana hanya berlatih tanpa sempat berkompetisi sekalipun. Tidak jarang mereka memberikan data yang mengecoh soal prestasi atletnya.

"Jadi, yang ada di kepala mereka adalah berbuat curang, bagaimana mengeruk duit dan menghamburkan uang rakyat. Sering kali mereka mengatakan atletnya menduduki peringkat atas di Asia dalam kejuaraan anu. Ternyata, si atlet hanya diturunkan di kejuaraan tingkat daerah dan itu pun hanya untuk para pelajar. Ditambah lagi mereka dengan yakin mengatakan akan meraih prestasi tertentu hanya dengan latihan singkat. Setahu saya, untuk mementaskan seorang juara, perlu waktu bertahun-tahun, bukan dengan langkah instan," ujar Indra yang juga pernah menjabat di Pengurus Besar Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (PB Porlasi).

(Ida Setyorini, dari Nakhon Ratchasima)

Rabu, Desember 05, 2007

Catatan: Hati-hati Penyakit Mapan!

Sebuah tulisan dari seorang wartawan kompas : Pepih Nugraha. Sangat menarik. Mencerahkan.
Mas Pepih, mohon ijin untuk dikutip.
-------
Catatan: Hati-hati Penyakit Mapan!

Wartawan adalah Menulis

Penyakit wartawan adalah mapan. Maka, janganlah cepat menjadi mapan kalau ingin menjadi wartawan yang berkualitas. Penyakit mapan itu ibarat kanker yang siap menerjang dan menempelkan sakit kemana saja sesuai aliran darah yang mengalir di tubuh. Kalau penyakit mapan sudah menjalari tubuh wartawan, maka penyakit malas bisa merasuki tubuh. Mapan mengalir ke otak, ia akan menjadi malas berpikir dan menganalisis. Bila lari ke hati, ia menjadi malas bertindak, beranjak, dan bekerja. Tiba-tiba, tubuh merasa berat sekadar membaca hal-hal ringan, apalagi menghadapi layar komputer untuk menulis.

Sayangnya, banyak wartawan yang cepat merasa mapan. Merasa menjadi "penguasa" beat di posisi tertentu saja sudah merasa menjadi tahu segalanya. Sikap ini mengabaikan pendapat orang lain. Segala sesuatu tampak "sudah biasa" dan "bukan berita". Maka, ketajaman dan nalurinya sebagai seorang wartawan dengan sendirinya tumpul. Itu baru bicara posisi. Apalagi ia mendapat "jabatan" koordinator liputan, kepala biro, atau editor, yang pasti lebih memabukkan lagi. Ketajaman lapangannya mulai memudar. Mau ke lapangan, "ah 'kan ada wartawan bawahan yang kerja."

Nah, yang lebih gawat lagi bila mapan dalam pendapatan datang menyerang wartawan. Ini persoalan serius. Ketika segala hal berbau materi sudah didapat, dari jabatan, rumah sampai kendaraan, daya juang terhadap satu berita mulai mengendur. Maunya jalan-jalan saja sama keluarga, makan di restoran enak, tidur nyenyak di kamar ber-AC sambil nonton televisi atau main games. Perkara banjir Jakarta yang menenggelamkan 70 persen wilayah ibukota, menewaskan 80 warga dan menjadikan 350.000 warga mengungsi, apa urusannya. Ada wartawan dan editor lain yang bertanggung jawab.

Semua yang saya ceritakan di atas adalah penyakit wartawan. Tidak mutlak wartawan memang, tetapi juga penyakit para penulis umumnya. Seharusnya, memang jangan lekas merasa mapan! Ingatlah, dalam dunia wartawan tidak ada karya "master piece". Semua karya adalah "in the making", dalam proses. Selalu dalam proses. Kalau sudah merasa karya atau laporan kita "master piece", maka ketajaman terhadap hal-hal kecil tetapi pantas menjadi berita, berlalu begitu saja. Merasa pekerjaan (sebagai wartawan) sudah selesai.

Jabatan, rumah, kendaraan, harus dianggap sebagai "alat" semata, alat yang memudahkan wartawan bekerja, bukan tujuan. Komitmen terhadap keluarga harus lebih ditekankan lagi, bahwa mereka harus diberi tahu lagi mengenai risiko berayahkan atau beribukan seorang wartawan. Berdamailah dengan waktu. Dalam arti, ada saatnya kita menghabiskan waktu dengan keluarga, jika mereka menuntut. Pekerjaan memburu berita, tetaplah bisnis inti seorang wartawan, apapun jabatannya.

Di harian Kompas, setelah menjalani "pendaerahan" dengan memegang Indonesia Timur dan Jawa Timur, saya masih diberi kepercayaan untuk tetap duduk di struktural selaku wakil kepala desk investigasi. Tentu saja dengan iming-iming ini, saya (bergantian dengan kepala desk) tinggal merancang liputan untuk rubrik "Fokus" yang biasa muncul setiap hari Sabtu, lantas yang liputan lapangan orang lain. Uniknya, kalau mau, saya juga bisa meminta bantuan anggota desk lain di Jakarta, teman-teman dari daerah, tergantung bahasan "Fokus".

Untungnya, penyakit mapan yang biasa menjangkiti wartawan itu selalu saya halau dengan obat mujarab, obat yang ada dalam diri saya juga, yakni "keresahan": keresahan kalau tidak meliput, keresahan kalau tidak turun ke lapangan, keresahan kalau tidak bertemu orang (sumber), keresahan kalau terlalu lama di rumah, dan terutama... keresahan kalau tidak menulis! Ya, harus resah, sebab pekerjaan wartawan adalah menulis. Sekali lagi beruntung, sebab di desk "Fokus" setiap anggota desk, tidak terkecuali yang punya jabatan struktural, diwajibkan menulis, menulis, dan menulis. Ini menolong wartawan tidak cepat kena penyalit mapan itu tadi.
Maka, tidak aneh untuk mengejar waktu di lapangan, hal-hal praktis masih menjadi pertimbangan utama, yang penting bisa lekas sampai ke tujuan dengan cepat dan tepat dan tidak mengecewakan sumber. Jika punya kendaraan, janganlah digunakan kalau harus menerabas kemacetan untuk menemui Gubernur Sutiyoso di Jalan Medan Merdeka Selatan, misalnya. Ojek yang mangkal di depan kantor biasa menjadi langganan saya. Ke Balai Kota bisa kena Rp 25.000. Memang bisa lebih murah kalau menggunakan bus umum, cuma Rp 5.000. Tetapi waktu? Pasti jauh lebih lambat. Dengan taksi, selain pasti lebih mahal dibanding ojek, tetapi tidak menjamin perjalanan lancar. Ojek adalah pilihan praktis-strategis. Jangan gengsi!
Ke tempat lain ke Departemen Pekerjaan Umum untuk menemui seorang Dirjen, juga naik ojek dan pulang naik bajaj dengan total biaya Rp 30.000. Ini masih lebih mampu mengejar waktu dibanding membawa kendaraan sendiri. Tidak jarang juga harus jalan kaki, menembus banjir, hanya sekadar bertanya kepada para korban dan sesekali ikut merasakan penderitaan mereka. Kalau merasa mapan, bukankah lebih baik duduk-duduk saja di kantor atau bahkan tidur di rumah.

Jadi, hati-hatilah dengan penyakit mapan ini, kawan!
Jakarta, 12 Februari 2007

Sabtu, Desember 01, 2007

Selamat Tinggal Masa muda

Waktu memang penuh misteri.Tak ada yang mampu mengungkap jati dirinya. Hanya Dia pemilik alam ini yang mampu menaklukan sang Waktu. Sementara kita, adalah pengelana yang merupakan bagian dari misterinya dalam perjalanan pencarian.

Masa lalu adalah kenangan. Masa silam adalah sejarah.Toh, banyak memang yang menyesali. Tapi banyak yang mengharap semuanya terulang. Padahal tidak. Sejarah tidak pernah berulang.

Karenanya , Kevin Rudd sesaat setelah dipastikan terpilih sebagai PM Australia, dia tidak ingin bernostalgia dengan masa lalu. Dia tidak ingin bercerita tentang masa silam. Dia hanya ingin menatap masa depan. Dia mengajak rakyat Australia, tidak perlu lagi menoleh ke belakang. Biarlah itu menjadi masa lalu. Australia ke depan harus bagaimana, rakyat Australia-lah yang menentukan.

Tentu ini keluar dari mulut seorang yang memiliki visi ke depan (visioner). Orang-orang hebat seperti ini tentu akan memiliki hambatan ke depannya. Karena tetap saja, ada orang-orang yang masih berpijak pada masa lalu. Seolah-olah hidupnya berada di masa lalu, padahal raganya ada di masa kini.

Ya, bernostalgia mungkin boleh saja. Tapi tidak untuk hidup di masa dahulu.

Kita tinggal sesaat lagi di warsa 2007. Perlu perenungan memang. Terlalu banyak peristiwa yang telah kita alami. Tapi kita tentunya harus terus maju ke depan. Menatap ke depan.

Demi Waktu
Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh
serta saling nasehat menasehati dalam kebaikan,
serta nasehat menasehati dalam kesabaran.

(Surat Al-Ashr 1-3)

Saya tinggalkan sebuah catatan dari Khalil Gibran untuk anda dalam The Prophet :
Selamat Tinggal Masa Muda

Selamat Tinggal masa muda
Yang kujalani bersamamu.
Rasanya baru kemarin, kita jumpa dalam
Mimpi yang sama,
Telah kuisi sunyinya hari-hariku denganTembang nyanyianmu.

Tabik.

Sabtu, November 17, 2007

Blog Pak Yusril

Beberapa hari lalu, aku lihat blognya Yusril Ihza Mahendra. Wah, ternyata rame sekali pengunjungnya. Bahkan ada yang seratus lebih jumlahnya. Tentu saja, banyaknya jumlah pengunjung ini menaikkan popularitas blog Pak Yusril.

Iri juga sih, melihat bagaimana antusias blogger mengunjungi dan berkomentar tentang blog pak Yusril. Pasalnya umur blog ku dan Umur blog pak Yusril hanya beda satu bulan. Blog ku belum ada pengunjungnya sekalipun, dalam hal ini komentar. Tentu ini tidak lepas dari pemberitaan media tentang keberadaan blog ini sendiri. Dan tentu saja kontroversi awal, dari keberadaan blog ini begitu muncul. Pasalnya sesepuhnya para blog, agak curiga nih, jangan-jangan ini Yusril palsu, yang hanya mengatasnamakan Yusril. Dan ujung-ujungnya mendiskreditkan Mantan Menteri ini yang masih di sorot keterlibatannya pada saat pengadaan barang di Kementeriannya dulu.

Namun akhirnya, setelah kopi darat dengan sejumlah sesepuhnya blogger, mereka yakin akhirnya yang punya Blog emang, Yusril Ihza Mahendra .Dan akhirnya merekapun membantu pak Yusril membuatkan blog baru yang menurutku memang lebih pantas untuk orang seperti beliau. Selamat deh pak Yusril!

Mengenai blog ku sendiri yang masih sangat sederhana ini, aku belum sempat mendandaninya.Habis sibuk sekali sih. Walaupun memang setiap hari di depan komputer, tapi mempermaknya memang perlu waktu. Atau mungkin ada teman-teman blogger yang ingin membantu mempergagah penampilan blogku, silahkan. Saya tunggu masukannnya.

Saya juga tidak akan pernah berhenti menulis, walaupun blog ku gak ada yang baca. Seperti yang pernah saya tulis di prolog blog ku :

Tidak.
Aku tidak sedang ingin menjadi seseorang.
Atau sesuatu.
Apapun itu.
Aku hanya ingin jejakku tertinggal di sana.
Terserah orang mau baca atau tidak.
Sekali lagi, aku hanya ingin, ada jejakku disana.
Walaupun hanya sepenggal.

Tabik.

Rabu, November 14, 2007

Kabar Dari Istriku 2

Alhamdulillah,
istriku positif hamil. Anak pertama. Tadi malam dia telepon, dan mengatakan berdasarkan, pemeriksaan dokter, dirinya positif. 6 minggu. Pas dengan hitungan kami juga.
"Hati-hati, jaga kesehatan dek." pesanku dalam telepon.

Ya Allah, berkati kehamilan istriku ini. Dia Sedang berjuang di daerah orang demi masa depannya.
Berikan kekuatan kepadanya juga untuk menanggung beban calon bayi kami ini.

*******

Istriku sedang studi dinas di Yogya.
Terakhir pulang cuti lebaran kemarin. Cukup Lama dia di Palembang. 2 Minggu.
Ya, suami mana yang tidak bahagia ketika mendapatkan khabar baik ini. Apalagi kami adalah penganten baru. Di mana-mana semua kenalan selalu bertanya, apakah sudah "berisi" atau belum.
Tapi saya juga sedih, karena tidak bisa mengantarkanya langsung ketika periksa ke dokter dan mendengarkan langsung dari mulut si dokter kalau istriku positif. Padahal dulu-dulunya aku membayangkan hal tersebut, seperti di sinetron tuh..ketika dokter memberikan selamat dengan kata-kata : Selamat ya pak, istri anda positif hamil!
Tapi sayang itu tidak sempat terjadi di kehamilan istriku yang pertama ini.
Habis dia di Yogya, aku di Palembang.

Semoga ini tidak memberatkan kami, yang saat ini sama-sama baru memulai hidup baru.
Semoga.

Sabtu, November 10, 2007

Pilih Dibenci Penjahat daripada oleh Rakyat (Gamawan Fauzi - Gubernur Sumbar sekarang

Prolog :
Ternyata masih ada sosok yang tidak memuja harta dan kekayaan, apalagi jabatan. Saya pajang tulisan dari Koran Kompas di blog saya, untuk mengingatkan suatu hari, apabila Gamawan menjadi pejabat penting di republik ini, dan melakukan kebijakan yang tidak pro rakyat.

Salut untuk anda, Pak !

(dari seorang Rakyat yang merindukan sosok-sosok seperti Bung Hatta dan Anda. Thanks to Kompas, yang telah membuat tulisan ini. Terutama kepada Mas Sutta Dharmasaputra. Mohon ijin memajang tulisan ini di blog yang sangat sederhana ini. Tabik!)

--------
Sosok dan Pemikiran : Pilih Dibenci Penjahat daripada oleh Rakyat
(Kompas, edisi Sabtu, 12 november 2007)
wartawan Kompas : Sutta Dharmasaputra


Banyak politisi terjebak praktik korupsi. Menyunat anggaran negara agar kaya raya dianggap hal biasa. Rakyat sengsara cuma dianggap biasa. Gara-gara hadiah, kongkalikong dengan penguasa atau pengusaha dinilai lumrah. Sistem politik yang membutuhkan biaya tidak murah lalu dianggap sumber masalah.

Benarkah sistem politik biaya tinggi menjadi sumber kejahatan atau figur seorang pemimpin turut menentukan?

Sosok dan pemikiran Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi menarik disimak dan direnungkan. Peraih Bung Hatta Anti Corruption Award 2004 ini dalam Pemilihan Kepala Daerah 2005 ternyata tidak mengeluarkan uang satu sen pun. Namun, dia tetap memenangi pertandingan mengalahkan empat pasang kandidat lain.

Gamawan yang berpasangan dengan Marlis Rahman memperoleh 756.657 suara (41,54 persen) dari 1.821.446 suara sah. Dia juga menang di 17 kabupaten/kota dari total 19 kabupaten/kota yang ada.

Kini, Gamawan juga termasuk salah satu gubernur yang dilirik oleh sejumlah partai dan dinilai publik layak ikut Pemilu Presiden 2009.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Gamawan di sela-sela mengikuti acara pembekalan di Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta, Rabu (7/11).

Benarkah sistem politik saat ini menuntut biaya tinggi?

Saya sudah menjadi bupati di Solok selama dua periode, yaitu 1995-2000 dan 2000-2005. Saya merasakan pemilihan melalui DPR yang harus melalui tiga jalur atau pemilihan melalui DPRD di masa reformasi. Saya juga merasakan pemilihan kepala daerah langsung.

Semangat pemilihan langsung adalah berdemokrasi dengan lebih terbuka, tapi memang bukan tanpa efek samping. Saya pernah bertanya kepada seorang gubernur dan dia mengatakan menghabiskan uang Rp 100 miliar. Kalau habis Rp 100 miliar, berapa besar uang yang harus dia kembalikan?

Seandainya seorang bupati mengeluarkan Rp 5 miliar untuk pilkada pun tidak logis. Gaji bupati itu Rp 6,24 juta. Kalaupun ditambah dengan berbagai honor yang legal, paling banyak Rp 25 juta per bulan. Berarti, satu tahun barulah mencapai Rp 300 juta. Total dalam lima tahun hanya Rp 1,5 miliar.

Tabungan saya saat selesai menjadi bupati selama dua periode malah hanya Rp 350 juta karena saya menghapus berbagai honor. Saya punya rumah satu dan harta kekayaan sedikit, tapi tabungan hanya Rp 350 juta.

Berapa uang yang dikeluarkan saat pilkada gubernur?

Saat pilkada, saya tidak punya uang. Saya maju karena ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memiliki 4 kursi dan Partai Bulan Bintang yang memiliki 5 kursi menawarkan kendaraan. Saya sempat tanya, pakai uang tidak? Saat itu, dua partai itu menjawab tidak. Partai malah memberi uang untuk pilkada. Itu pun saya pertanggungjawabkan.

Banyak masyarakat juga membantu. Malah ada yang mengirim brosur lima kardus. Saya tidak tahu dari siapa.

Total pengeluaran selama pilkada sekitar Rp 3,5 miliar. Dari sejumlah itu, memang ada dari adik dan sanak keluarga yang membantu sekitar Rp 1 miliar. Tapi, saya tidak mengeluarkan satu sen pun.

Bagi saya kalau menang, ya menang. Kalau kalah, ya kalah. Saya berpikir, kalau saya mengeluarkan Rp 5 miliar, kewajiban untuk mengembalikan pun Rp 5 miliar. Dari mana uang itu akan saya paksakan. Kalau meminta dari pengusaha, saya juga harus memberi proyek. Sekarang, saya tidak ada beban. Tidak memberi proyek, tidak ada urusan, memberi proyek juga tidak ada urusan.

Berarti tidak benar kandidat miskin akan kalah?

Sekarang, rakyat itu lebih melihat figur. Kekuatan partai pun tidak memberi jaminan. Pilkada Sulawesi Selatan yang dimenangi Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang kembali menunjukkan itu. Pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly diusung Partai Golkar dan PKS (58 persen); sedangkan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang diusung PDK, PAN, dan PDI-P (27 persen). Karena itu, calon pemimpin yang tidak punya uang, tapi punya idealisme, tidak perlu takut untuk maju asalkan populer dan menjadi panutan.

Yang memiliki kualitas individual baik, bersih, sesungguhnya banyak di negeri ini. Sayangnya, hanya populer di tingkat elite, tapi tidak cukup populer di rakyat. Agar bisa dikenal rakyat harus sosialisasi. Untuk populer itu butuh prestasi.

Perbaikan sistem

Salah satu kelemahan pilkada langsung selama ini, menurut Gamawan, partai lebih memaksimalkan figurnya sendiri walaupun di luar ada yang lebih berkualitas. Artinya, lebih mementingkan partai ketimbang bangsa.

"Parpol harus menjadi negarawan. Dia harus lebih cinta kepada bangsa ini ketimbang cinta pada partainya. Kalau perlu, seandainya ada figur yang baik, seharusnya partai yang menawar figur tersebut," ujarnya.

Kontrak politik antara partai politik dan calon pun bukan didasarkan pada bayaran, tapi pada perjuangan ideologi. Dikarenakan, sesungguhnya, partai politik merupakan alat untuk mencapai perjuangan politis. Sekarang ini banyak yang perjuangannya tidak jelas.

Sebaliknya, figur yang idealis juga tidak sekadar pilih kapal, tapi juga harus menumpang kapal karena benar-benar merasakan satu visi.

"Saya pernah bicara dengan salah satu partai, lalu ditanya saya punya uang berapa. Saya lalu katakan Anda tidak punya idealisme. Gak usahlah," paparnya.

Seandainya ada calon yang punya idealisme, jujur, menurut Gamawan, harus melewati partai atau masuk ke partai.

"Saya pun datang ke partai. Boleh tidak saya ikut? Tapi, saya tegaskan, tidak ada uang. Saya juga mempunyai prinsip, tidak mau sekadar menang, tapi memperjuangkan idealisme," ungkapnya lagi.


Terlepas dari itu semua, untuk memperbaiki kondisi ini, Gamawan berpendapat, tidak bisa diserahkan melalui individu-individu semata, tapi perlu ada perbaikan sistem, misalnya dalam Undang-Undang Partai Politik maupun pemilu.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah para peserta pemilu untuk terjebak pada perilaku menghamburkan uang yang besar adalah adanya pengaturan dalam undang-undang.

"Sekarang ini ada gejala sosial kalau Lebaran banyak calon yang membuat spanduk ucapan selamat dan memakai foto. Apakah ini bukan iklan? Kalau iklan seharusnya membayar pajak karena harus ada yang membersihkan kota. Meskipun ada perintah membersihkan tanda gambar, biasanya tidak pernah jalan," paparnya.

Menurut Gamawan, lokasi kampanye juga seharusnya dibatasi. Pemerintah setempat pun menentukan batas biaya. Demikian pula dengan biaya memasang iklan di media massa.

"Anda tidak boleh mengeluarkan biaya kampanye lebih dari Rp 1 miliar, misalnya. Kalau melanggar UU, langsung penalti," ujarnya.

Pemilu Presiden 2009

Saat ini Gamawan memang telah dilirik oleh partai maupun publik sebagai salah satu gubernur yang dianggap layak untuk untuk maju dalam Pemilu 2009. Namun, berbeda dengan calon lain, Gamawan justru malah menampik lamaran itu.

"Saya tidak bersedia. Saya melihat Indonesia sekarang ini memerlukan figur yang tidak normatif karena bangsa ini mempunyai banyak masalah. Perlu pemimpin yang berani ambil langkah yang tidak normal dengan segala risikonya. Saya ini birokrat yang dilatih bekerja dengan sistem, tidak melompat-lompat. Perlu figur yang berani ambil tindakan yang luar biasa," paparnya.

Menurut Gamawan, kalau memang cinta dengan bangsa ini, semua elemen harus jujur.

"Jangan selalu menyalahkan orang lain atau pemerintah, tapi apa yang sudah kita buat. Pemerintah juga introspeksi. Saya sebagai gubernur selalu katakan ini kelemahan saya. Tapi, rakyat juga harus katakan ini kelemahan saya," paparnya lagi.

Berbicara dengan Gamawan selama satu jam tidak seperti mewawancarai politisi atau pejabat aktif yang selalu hati-hati bicara. Pemikiran dan pandangannya diungkapkan terus terang.

Ketika ditanya kekayaannya, dia pun dengan cepat menyebutkan gajinya yang Rp 8,5 juta dan jika ditambah berbagai upah pungut sekitar Rp 100 juta per bulan. "Itulah harta kekayaan saya," ujarnya spontan dan mensyukuri.

Namun, dia tetap mempertahankan gaya hidup sederhana. Pengagum Bung Hatta ini mengaku masih mempertahankan mobil dinas Kijang. Agar tidak terjebak pada perilaku korup, prinsipnya sederhana. "Kalau kita baik itu maling marah. Kalau kita jahat, orang baik pasti marah. Pilih mana?" ucapnya.

Selasa, November 06, 2007

Perempuan-perempuan perkasa

Hiruk pikuk pasar Jakabaring malam itu membuat malam yang dingin, tak dirasakan oleh ribuan orang yang tumplek blek di pasar tersebut. Pasar induk yang beroperasi sejak Juni 2004 itu, menjadi pusat jual beli satu-satunya saat ini, yang mempertemukan pedagang besar dan kecil di Palembang. Praktis sejak pasar 16 Ilir yang terkenal itu, digusur. Pedagangnya pun kocar-kacir. Sebagian besar pindah ke Pasar Induk Jakabaring, namun sebagian lagi memilih pasar-pasar pagi lainnnya , seperti pasar KM 5, dan Pasar Plaju.

Dini hari itu, dua orang perempuan tua, berdiri di pinggir jalan. Mereka nampak perkasa, dengan dua buah tangan yang penuh sayur-sayuran sebagai pegangan mereka. Belum lagi bakul besar dan panjang yang berada dipunggung mereka, penuh dengan barang-barang kebutuhan lain. Aku taksir, usia mereka lebih dari 60 tahun.

Tak ada gurat-gurat kelelahan di wajah mereka. Nampak suka cita sepertinya, karena mungkin apa yang mereka inginkan sudah berhasil mereka dapatkan hari itu.

Postur mereka hampir sama. Tidak kurus dan tidak terlalu gemuk. Dengan baju memang ala ibu-ibu tua. Dengan rambut disanggul. Dan kain yang dililitkan di pinggang. Ciri khas orang tua lama. Namun yang membuat aku tercekat. Bahwa mereka tidak memakai alas kaki.

Udara sedingin gini, dan kondisi permukaan tanah yang beraspal tanggung. Membuat kekaguan tersendiri kepada mereka.

Tiba-tiba aku teringat puisi Perempuan-perempuan perkasa karya Hartoyo Andang jaya, yang bercerita tengatang perempuan-perempuan perkasa yang melintasi batas ruang dan waktu. Tak ada pilihan . Karena mereka harus melanjutkan hfdup. Karena keadaan tentunya.

Tapi, Hartoyo mampu menangkap potret tersebut dan menyatakan kekagumannya.

Sepertinya Hartoyo mahfum bahwa mereka telah menajdi bagian dari kerasnya hidup itu sendiri. Mungkin pemandangannya akan sangat berbeda, kalau mereka tidak ada. Maka puisi Hartoyo itu kemudian memotret apa yang memang menjadi keseharian kita.

Dan pemandangan itu masih ada sampai saat ini. Hampir disemua bagian wilayahIindoensia.

Dan seperti kedua ibu tua tadi. Mereka memaknai hidup dengan cara mereka sendiri.
Tapi merekalah perempuan-perempuan perkasa itu. Tanpa mereka , pasar malam , seperti Pasar induk Jakabaring ini akan kering.

*Saya iringkan karya penyair hebat Hartoyo Andangjaya – Perempuan-Perempuan perkasa:

Perempuan-perempuan perkasa

perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
dari manakah mereka
ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja
perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta ,
kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menulu ke gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota
perempuan-perenpuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja,
perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.*

Senin, November 05, 2007

Kabar dari istriku

Istriku mengabarkan melalui sms nya : Kak, adek sudah telat beberapa hari.Adek test, positif. Tapi kepastiannya adek kunjungi dokter sekitar seminggu lagi.

Istriku lagi studi dinas di Yogya sekarang.

Alhamdulillah.
Semoga benar ya Allah.
Ini karunia besar kembali yang kau berikan, jika benar hamba Mu yang dhoif ini akan mendapatkan seorang anak.
Semoga saja.

Sabtu, Oktober 27, 2007

Mengapa ya, Manusia senang sekali berseteru?

Pilkada. Tiba-tiba menjadi sebuah peristiwa yang harus dihadapi setiap tahun oleh bangsa yang selalu menderita ini. Bangsa ini terus-terusan sakit tatkala peristiwa ini dilakukan. Kenapa tidak, dana-dana yang digunakan oleh para calon saat berkampanye yang jumlahnya sebenarnya bisa membuat pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan baru yang bisa lebih membuat sejahtera, harus dibuang sia-sia. Kaos, baju, selebaran, spanduk, pembagian sembako, hadiah dan juga dan segar mengalir saja, tanpa bisa memberikan manfaat , dan tidak meninggalkan jejak. Kecuali sebuah kenangan. Mungkin?

Hari ini…kalau di data, dari 10 pilkada yang terjadi, 4 – 5 pilkada kemungkinan akan menimbulkan chaos. Kalau tidak menimbulkan ke kacauan, paling tidak akan menimbulkan ketegangan berkepanjangan di daerah tersebut. Baik pra maupun pasca pilkada. Karena adanya pihak yang berlawanan dan juga kalah setelah pilkada.
Wajar saja, di tengah-tengah turnya di beberapa daerah pasca lebaran kemarin termasuk di Palembang 17-18 Oktober lalu, JK (Jusuf kalla – wapres Indonesia, bukan Jarwo Kuat dari republik BBM), terus mengingatkan bangsa ini, jangan hanya memikirkan soal pilkada. Capeee…deh…mungkin itu istilah yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh JK, menyikapi orang-orang yang hanya memikirkan soal pilkada. Kemenangan dan kejayaan kelompoknya sendiri.

Banyak hal yang bisa dipikirkan selain soal pilkada. Dengan pilkada mungkin menurut Kalla, bangsa ini kebali ke belakang. Orang-orang hanay memikirkan soal kekuasaa…kekuasaan..dan kekuasaan..Tanpa lagi memikirkan soal pembangunan.
Kalaupun dia menang pada pilkada tersebut. Di tahun kedua dan ketiga, kembali dia sudah memikirkan untuk memenangkan kembali pertaruhan pada pilkada berikutnya. Tebar pesona disana-sini. Jadi waktu efektifnya untuk membangun hanya 2 tahun, Itupun digandeng dengan kemungkinan mencari pengganti uang mereka yang telah habis digunakan selama kampanye. Ya begitu…Sementara banyak hal sebenarnya yang bsia dilakukan, seperti diingatkan oleh JK. Belum lagi ketika pra kampanye, janji-janji kecap akan keluar dari para calon, yang selalu menyatakan memajukan rakyat (kecil). Namun setelah jadi, rakyat ditolehpun tidak…..

Hari ini, bangsa ini disodorkan dengan kekacauan pada pilkada Provinsi Maluku Utara. Tulisan ini dibuat, ketika proses pilkada ini hampir mendekati hari pemungutan suara. Berapa banyak kerugian yang telah dialami masyarakat disana. Dan yang bentrok adalah masyarakat kecil yang mungkan hanya dibayar sekiar ribu rupiah. Mereka berani bertaruh raga demi orang-orang yang belum tentu nantinya akan memikirkan mereka.

Hari ini juga, di Provinsi saya Sumatera Selatan, dan kota saya Palembang, akan menghadapi 10 pilkada. Bayangkan betapa jemunya masyarkat akan disuguhi atraksi-atraksi jual kecap dari para calon. Walaupun sebagian mereka mungkin memang benar akan mewujudkan itu. Namun sebagian lain, hanya akan memperkaya diri sendiri ataupun sekedar hanya ingin mencatat sejarah dalam kehidupan mereka saja.

Para calon tersebut saat ini telah tebar pesona. Masyarakat kecil terus dirangkul. Tukang becak, pedagang kaki lima, tukang ojek, sopir bus kota, dan yang lain. Terus dimobilisasi dan mendekalarsikan diri untuk mendukung para calon.
Media massa dibayar agar foto dan kegiatan mereka tampil terus dengan tajuk advetorial, inforial, dan rial…rial yang lain. Ada lagi yang sudah terang-terangan mendukung calon-calon yang akan bertarung, dan selalu menyoroti kinerja calon-calon lainnya. Tentu saja dengan mencari-cari kesalahan mereka.
Belum lagi center-center yang didirikan oleh para calon, juga telah menjamur.

Dan ketegangan telah muncul saat ini.

Di tingkat bawah…pernah beberapa orang yang lagi menempelkan foto salah satu calon, dikeroyok masyarakat setempat yang di duga menjadi basis massa bakal calon lain.

Ada lagi, saat deklarasi salah seoarang bakal calon gubernur, orang-orang dari bakal calon yang lain sibuk membagi-bagikan leaflet calonnya tersebut. Jadilah dia juga di habisi “preman-preman” yang sedang menjaga deklarasi terbsebut.

Belum lagi, perang panduk, juga perang kata-kata sudah mulai kerap terjadi.

Mungkin satu kata yang bisa mewakili semuanya itu :
Capeee…dehh…….!!!!!

Selasa, Oktober 23, 2007

Sampai dimanakah Aku telah berjalan?

Dengan menyebut nama Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang,
Tulisan ini kumulai dengan sebuah kesadaran tinggi, bahwa sampai hari ini, masih diberikan sebuah karunia teramat besar” Tambahan Umur lagi’. Tak ada yang pernah tahu, memang kapan, umur itu akan berakhir.
Tentu, banyak cara untuk merayakan hari penanda kelahiran. Ada yang merayakannya secara besar-besaran. Ada yang biasa saja. Ada yang tidak. Dan ada yang berkontemplasi. Lalu aku berada di pilihan yang mana?
Dalam perjalan hidupku yang sudah melebihi dari 30 warsa ini. Hanya sekali aku dirayakan hari pertama kali aku meniup udara di dunia ini. Ya, ketika aku dikelas 2 SMA. Biasalah, anak SMA. Kala itu, aku habis disiram teman-teman satu kelas.Tidak hanya itu. Dilempar dengan telur dan tepung terigu.Mengesalkan memang, tapi menyenangkan.

Sebenarnya, harus dimaknai bagaimana hari kelahiran tersebut?
Sampai hari ini tak kutemukan jawabnya. Paska kita merayakan kelahiran itupun Hidup rasanya tidak berubah. Semua cita-cita yang dicanangkan, kemudian menjadi simbol. Tak lebih.

30 tahun lebih ini, aku juga belum merasa melakukan apa.apa.Setelah tamat SMA, hidupku sepertinya berjalan lambat. Aku tamat kuliah telat satu tahun. Kawin juga diatas 30 tahun. Terima kerja juga lebih dari satu tahun setelah tamat kuliah. Apakah ini takdir ku?

Namun yang jelas seperti yang kurasakan, saat ini,aku masih bisa berbahagia. Aku masih ditambahkan umur panjang. Seorang Istri. Dan entah apa lagi nantinya.Memang patutlah aku mensyukuri itu.

Sabtu, Oktober 20, 2007

Mudik

Kepada para pemudik,
Tetaplah mencintai ibu dan kampung halaman.
Selalu memimpikan bernostalgia dengan masa kecil dan segalanya.
Saya titipkan untuk anda sebuah sajak tentang Ibu dan kenangannya :

Kepada ibuku

Aku merasakan nostalgia ibuku
dan kopinya,
serta kesayangannya,
anak kecil membesar dalam diriku
sehari demi sehari.
Dan aku terlalu cinta kepada diriku
karena jika aku mati,
aku akan malu dari air mata ibuku.
Jika pada suatu waktu aku kembali,
jadikanlah aku tutup rambut matamu.
Tutupilah tulang-tulangku dengan tumbuh-tumbuhan.
Karena sorga adalah dibawah telapak kaki ibu.
Kembalikanlah kepadaku bintang-bintang masa kecilku
agar aku dapat menggabungkan diri
dengan burung-burung kecil
dalam perjalanan kembali
Ke sarang di mana engkau menunggu

(Mahmud Darwish, Penyair Palestina, saya kutip dari buku Janji-Janji Islam - Robert Garaudy)

Jumat, Oktober 12, 2007

Lebaran

Orang-orang masih saja sibuk membicarakan baju baru menjelang lebaran ini.
Tak ada yang sibuk ,untuk melihat apa yang sudah di dapatnya selama menjalankan ibadah puasa tahun ini.
Maaf teman, tahun ini aku sudah cukup puas
untuk mendapatkan sesuatu yang baru :
Seorang istri.

Sepenggal Jejak

Tidak.
Aku tidak sedang ingin menjadi seseorang.
Atau sesuatu.
Apapun itu.
Aku hanya ingin jejakku tertinggal di sana.
Terserah orang mau baca atau tidak.
Sekali lagi, aku hanya ingin, ada jejakku disana.
Walaupun hanya sepenggal.