Minggu, Februari 17, 2008

Matahari senja sudah merah menyala.

Matahari senja sudah merah menyala. Dia sepertinya hendak segera tenggelam di kaki langit. Jalan Di depan Gang Gaya baru DI Panjaitan Plaju masih sangat ramai orang yang hilir mudik. Padahal sudah hamper magrib.

Aku menepikan Honda Astrea tua ku di sebuah pick up yang menjual beraneka jenis buah. Ya, model jualan seperti ini lagi trend. Pake mobil. Mungkin menghemat ongkos kontrak kios atau los yang mahal. Belum lagi menjamin apakah laku atau tidak berjualan di kios atau pasaran. Ditambah lagi yang datang pungutan liar yang tidak henti, yang tentu menggerus pendapatan.

Sore itu, tidak seperti biasanya, hanya dua orang yang membeli termasuk aku. Padahal biasanya, ramai, apalagi kalo musim duku. Si penjual ini sering obral harganya. Dukunya juga dipercaya. Manis dan besar. Si penjual termasuk orang jujur, kalo masam disebutnya masam dan manis-disebutnya manis. Makanya dia banyak didatangi orang untuk membeli buah-buahanya. Buah yang dijualnya bervariasi persis yang ada di took-toko buah.

Aku sore itu hanya membeli jeruk, sekilo. Lumayan. Buah-buahan di lemari es dah habis. Kemarin sempat ada apel dan jeruk. Yang menarik bersama dengan aku membeli, seorang tua. Umurnya aku taksir 60-an. Dia Nampak asyik memilih-milih apel yang merah ranum. Dan juga jeruk.
“Buat istri dan cucu,”katanya ketika kuisengi ngobrol.

Kulihat dia beli jeruk 2 kilo dan 2 kilo apel. Ada yang menarik. Sepertinya kakek ini baru pulang kerja. Dia hanya pake sepdea tua ontel dan dibelakangnya, Nampak peralatan yang menunjukkan kalo dia seorang tukang batu. Setelah membayar dia bergegas pergi dan tersenyum ramah kepadaku. Aku belum selesai memilih.

“Dia biasa beli disini Dek” kata si penjual buah,”pasti dua minggu sekali dia beli. Ya macem-macem, kalo dia pengen beli. Kadang-kadang semangka, jeruk apel, dan sebagainya. Mungkin dia habis gajian.” Tambah si penjual menjawab keherananku.

Aku senyum saja. Ya, saya tidak tahu siapa pak tua itu. Namun dari penampilannya. Aku kira dia orang biasa saja, masyarakat kebanyakan. Cenderung miskin kalu saya kira. Sebabnya dia masih bekerja dengan usianya setua itu. Padahal seharusnya sudah beristirahat. Apalagi untuk kerja yang berat. Sekilas tadi aku lihat urat ditangannya sudah keluar semua dan sangat keriput. Tapi semangatnya mungkin untuk mempertahankan hidup yang membuatnya harus seperti itu. Ya : untuk istri dan cucu, begitu katanya singkat tadi kepadaku. Aku terngiang-ngiang sesaat kata-kata itu.

Tiba-tiba akau teringat istriku dan calon bayiku.

Jumat, Februari 01, 2008

Suharto, Banjir Jakarta, harga naik, apalagi ya….

Ini mungkin postingan awal bulan ini. Suharto yang selama satu bulan ini mendominasi pemberitaan media-media Indonesia, akhirnya tutup usia. Mungkin inilah akhir cerita tentang mantan orang nomor satu Indoensia ini. Karena saya tak yakin, setelah itu kausu-kasunya aklan diselesaikan. Yang ada hanyalah polemik pihak-pihak tertentu yang sekedar cari muka kepada rakyat. Ya, semoga pembicaraan yang menghabiskan energi ini di tutup juga.

Yang kedua, soal banjir di Jakarta,juga telah melelahkan kita. Semua orang sepkat bahwa : Sudah saatnya pusat pemerintahan dipindahkan dari sana. Jakarta sudah teramat berat bebannya. Tidak hanya itu, semua pihak, pebisnis misalnya, sidah harus berpikir, janganlah menjadikan Jakarta sebagai pusat. Masih banyak daerah lain yang potensial. Mungkin ini juga masih bisa diperdebatkan. Maka inilah tugas dari pengambil kebijakan.

Yang ketiga, soal harga-harga yang terus naik. Capeee…deh….kapan di negeri ini, harga tidak naik. Kalaupun tidak naik dicair-cara alasannya agar naik. Ditimbun, pupuk ditahan, benih dipalsukan dan sebagainya. Semuanya juga akhirnya berbicara soal keuntungan. Dan mengeluhakan kaalu keuntungan tidak bertambah.

Kita cinta negeri ini, kita mengabdi kepada negeri ini. Kita tinggal di negeri ini. Tapi, mbok ya, para pemimpin…berpikirlah untuk rakyat negeri ini. Presiden gak perlulah turun ke pasar, kan, ada menteri, gubernur, walikota. Ngapain susah-susah ke pasar harga toh gak turun juga. Malah nyusain orang ke pasar karena pengamanan yang dilakukan. Harusnya membuat kebijakan agar harga tidak naik. Pemerintah punya hak untuk itu. Jangan menjadikan alasan itu merupakan kehendak pasar atau istilah kerennya mekanisme pasar. ANDA PUNYA HAK MENGATURNYA. JANGAN DIATUR OLEH ORANG. Masyarakat sudah teramat lelah. Yang terjadi saat ini hanyalah keputusasaan dan kepasrahan.

Jadi stop kepada semua kalangan untuk tebar pesona dan tebar wacana. Bertindaklah untuk negeri ini.