Senin, Desember 31, 2007

Happy New Year 2008

Apapun yang telah berlalu, semunya tinggal sejarah.
Yang kini harus dilakukan adalah meniti sejarah baru.
Berusaha mewujudkan harapan baru.
Apapun itu.
Yang lalu biarlah berlalu,
biarlah dia menjadi sepenggal jejak.

Happy New Year 2008!

Rabu, Desember 19, 2007

Lebaran Haji

Tak terasa, sudah lebarah haji.
Selamat merayakannya. Semoga yang berhaji menjadi haji yang mabrur.
Yang berbeda hari saat merayaknnya, gak usah dipikirkan. Toh, semangatnya tetap sama.
Mohon maaf lahir batin.

Jumat, Desember 14, 2007

TENTANG SEPAKBOLA INDONESIA

Sungguh mengecewakan memang kinerja PSSI. Setelah kegagalan tim nasional senior maupun junior di berbagai level kejuaraan, saat ini bangsa ini juga harus dihadapkan kenyataan bahwa tidak adanya wakil Indonesia di Liga Champion Asia (LCA). PSSI merasa tidak bersalah, bahkan malah berbalik menyalahkan AFC. PSSI malah mengkambinghitamkan kompetisi internasional yang notabene sudah terjadwal reguler. Sementara kompetisi lokal (LIGINA) sering maju mundur, seiring dengan kemauan (sebagian pengurus) PSSI saja.

Menyesakkan. Kita sebenarnya harus berbangga, kalau kompetisi LIGINA kita adalah salah satu kompetisi yang paling kompetitif di Asia. Kalau soal penonton, kita tidak kalah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Barat atau Asia Timur, yang begitu memuja sepakbola.

Belum lagi soal kualitas pemain. Saya melihat sendiri (dan termasuk penonton setia LIGINA), bahwa pemain-pemain kita sudah banyak kemajuan. Mulai dari skill maupun taktik. Sayangnya memang pengelolaan sepakbola kita masih sangat lemah. Kita tergantung pada orang. Padahal harusnya sistemnya yang harus mengatur semua itu.

Alasan dana, saat ini bukanlah alasan yang tepat, karena kalau sebuah kesebelasan menampilkan permainan yang berkualitas, sposor pasti akan datang. Tapi pengurusnya tentu saja jangan buru-buru dulu memikirkan kantong mereka. Dana ini harus dikelola dengan baik.

Saat ini sebagian kesebelasan yang bertarung di divisi utama, sudah mengarah ke manajemen professional. Tiket dikelola dengan baik, asesoris dijual di tempat-tempat khusus dan sebagainya. Dan ini menunjukkan adanya sebuah perbaikan. Memang masalah utama saat ini, tim-tim masih banyak tergantung pada APBD. Ini yg juga menjadi masalah.

Namun untuk pemain, saya yakin, kita tidak akan kekurangan stok pemain. Walaupun banyak pemain asing, namun tidak akan mematikan tim nasional, karena sepertinya para pemain kita sudah banyak menyerap ilmu dari mereka.

Namun itu tadi, percuma saja, tim-tim kita berrjibaku di kompetisi lokal, namun tidak pernah merasakan pertarungan dengan tim-tim negara lain, minimal di tingkat asia. Kalau mau kita bandingkan, tim-tim eropa sangat bersemangat bila mereka main di kejuaraan eropa semacam Champion atau UEFA. Pasalnya, dengan itu mereka (terutama tim-tim kecil) bisa menguji tim mereka, apalagi kalau bermain dengan kesebelasan yang mempunyai nama besar. Para pemain tentu akan bermain sebaik mungkin, walaupun nantinya kesebelasan mereka kalah. Namun secara individu mereka akan memiliki kredit poin tersendiri, terutama para pencari bakat kesebelasan-kesebelasan besar, sehingga nantinya mereka dilirik untuk ditransfer.

Makanya, di satu sisi, saya kasihan melihat pemain kita. Sampai sat ini saya belum pernah lagi mendengar ada pemain kita yang dikontrak kesebelasan dari luar Indonesia. terakhir mungkin Bambang pamungkas, Elly aiboy, Ponario serta Ilham yang dikontrak tim-tim Malaysia.
Padahal saat ini, puluhan pemain muda berbakat sebenarnya bisa disetarakan dengan para pemain dari Timur Tengah maupun Korea dan Jepang. Sebut saja Atep, Eka Ramdani, dan Arif suyono. Belum lagi Toni sucipto dan skuad tim U 23. Tidak hanya itu pemain seniornya juga sebenarnya sangat layak bertanding di level internasional, seperti BP, Aliyudin, Elly aiboi, Ortisan, Alex Pulalo, Ponario, Firman Utina dan Zenal Arief. Mungkin yang tenggelam sekarang adalah Ilham dan Boaz. Padahal mereka adalah pasangan yang sangat mematikan di Piala Tiger. Boaz terus bergelut dengan cidera. Sementara Ilham sepertinya belum menemukan tandemnya di Persita.

Nah, dengan kondisi tersebut, seharusnya PSSI terus berbenah. Kita sudah punya SDM dan organisasi tapi sayang memang orang-orangnya. Saya pernah bermimpi, kita juga mengekspor para pemain, seperti halnya negara-negara di Amerika Selatan dan Afrika. Sayang, untuk beberaap tahun kedepan mimpi tersebut tidak akan terwujud. Jika kroni Nurdin CS masih di PSSI.

Mungkin memang harus ada potong generasi di kepengurusan PSSI. Tidak perlu tokoh, namun orang-orang yang benar-benar gila Bola dan tau bola.

Ayo kita dukung REVOLUSI di tubuh PSSI! Jangan biarkan Kompetisi yang mengalir tanpa makna, mengingat tim-tim kita yang menjadi pemenang tidak dapat bertanding dengan tim dari negara lain. Ayo, JANGAN CEPAT PUAS DENGAN DIRI SENDIRI. STOP NARSIS.

Palembang, 14 Desember 2007.

Rabu, Desember 12, 2007

Apa yang terjadi dengan para Atlet kita?

Refleksi SEA Games XXIV-2007 Nakhon Ratchasima, Thailand


Tidak ada lagi kebanggaan kita di ajang Sea Games. Berturut-turut dalam 3 kali penyelenggaran pesta olahraga ini Indonesia kian terpuruk. Dan tahun ini merupakan posisi paling buruk yang dialami oleh bangsa ini.

Walaupun sejak awal Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault mencanangkan untuk merepubut posisi puncak di ajang ini, namun apa mau dikata ternyata Indonesia terpuruk juga. Bahkan Sepakbola yang digadang-gadang untuk meraih emas, sudah gagal di babak awal.

Apa yang salah?
Jelas pembinaan. Mensitir judul Kompas, Selasa, 6 desember 2007 “Pembinaan Tipu-tipu” terasa benar, bahwa pembinaan olahraga kita memang sudah tidak terarah. Atlet yang dihasilkan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Sementara dana yang dikeluarkan sudah luar biasa. Kalau alasan, kurangnya waktu untuk latihan atau tidak ada uji coba atau try out kepada para atlet, saya pikir hanyalah sekedar mencari kambing hitam belaka. Non sense.Padahal uang yang digunakan adalah uang rakyat, pajak dari rakyat.

Kita sebagai bangsa Indonesia sepertinya sekarang harus mulai sadar, bahwa era ini kita berada pada titik paling bawah dalam kesadaran berbangsa dan bertanah air. Dimana-mana bangsa kita dihina. Dipandang sebelah mana. Prestasi yang ada juga, walaupun membuat kita bangga malah dianggap sebelah mata. Tulisan ini sebagai bentuk keprihatinan. Ayo kita bangkit. Gelorakan semangat untuk juga me –REVOLUSI OLAHRAGA- kita.

(Tulisan ini dibuat tatkala Sea Games belum berakhir. Tapi apapaun hasilnya, Indonesia tetap akan terpuruk, paling banter akan menduduki urutan ke empat atau kelima, tapi mungkinkah. Enam saja sudah bagus?)

Tabik.

Saya kutipkan Tulisan Kompas tentang pembinaan tipu-tipu ini :
Kamis, 06 Desember 2007

Pembinaan Tipu-tipu

Nakhon Ratchasima, Kompas — Sejak setahun lalu, kegagalan di SEA Games XXIV-2007 Nakhon Ratchasima, Thailand, sudah dapat diperkirakan. Bukan melalui petunjuk dukun atau berdasarkan wangsit, tetapi dari keseharian pembinaan di tiap cabang. Nyaris tidak ada program nyata untuk mengembalikan kejayaan prestasi olahraga Indonesia.

Tidak lama setelah kegagalan memalukan di SEA Games XXIII Manila 2005, ributlah soal bagaimana pembinaan yang tepat dan sebaiknya segera dilaksanakan agar kegagalan serupa tidak terulang di Thailand dua tahun mendatang. Waktu itu, untuk pertama kalinya kontingen Indonesia nyungsep ke posisi kelima dari seluruh 11 negara peserta.

Hasil terparah sepanjang kiprah Indonesia di arena SEA Games tahun 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Waktu itu, Indonesia yang muka baru di arena pesta olahraga dua tahunan se-Asia Tengara langsung membuat kejutan dengan meraup medali terbanyak dan tampil sebagai juara umum.

Kejayaan itu terus berlanjut dari SEA Games ke SEA Games. Selama 20 tahun dalam rentang waktu 1977-1997 hanya dua kali Indonesia jatuh ke peringkat kedua. Seluruhnya terjadi di Thailand tahun 1985 di Bangkok dan 1995 di Chiang Mai. Maka, ketika di SEA Games XX 1999 Brunei Darussalam, Indonesia untuk pertama kalinya terlempar dari dua besar dan terpaksa puas di urutan ketiga.

Hasil itu sungguh mengejutkan dan memalukan. Dari situ, ada sedikit upaya untuk naik peringkat. Akan tetapi, apa daya krisis moneter menghantam dan pembinaan olahraga Indonesia pun terkena dampaknya. Jadi, dua tahun kemudian di Kuala Lumpur, posisi Indonesia bukan menanjak malah menurun.

Namun, belum terlalu parah dibandingkan dengan hasil di Manila 2005 yang peringkat kelima. Pencapaian menyesakkan dan luar biasa memalukan. Maka, tekad untuk memperbaiki peringkat pun segera dicanangkan. Hanya saja, bukan dengan memikirkan bagaimana memajukan para yunior. Yang terpikir justru crash program, seperti mengirim atlet dan tim untuk latihan ke luar negeri.

Kompetisi? Bukan rencana mereka. Lebih penting latihan di luar negeri, dapat uang saku, dan belanja. Bagaimana dengan prestasi? Itu soal nomor sekian, entah ke berapa. Sangat lazim para pengurus induk olahraga mengirim atlet nasional Indonesia ke negeri seberang untuk berlaga di kejuaraan antar-SMA atau perguruan tinggi, bukan turnamen berskala nasional atau internasional.

"Percuma latihan terus tanpa sempat ikut turnamen. Tidak akan punya mental bertanding. Memangnya mau berapa lama ditanam latihan di luar negeri kalau tanpa bertanding dan ikut sirkuit," ungkap pelatih tenis meja Putri Hasibuan. Dia mencontohkan, semasa dirinya masih menjadi petenis meja nasional, sangat sering dia ikut berbagai kejuaraan di luar negeri. Begitu pula di dalam negeri.

Tiap kali bertanding, mereka akan menemui beragam tipe lawan. Kalau hanya bagus di latihan tanpa pernah menjajal ketangguhan kompetitor, bagaimana mungkin mereka mengatasi demam panggung kala menghadapi rival yang peringkatnya lebih tinggi. Pasti akan sulit juga memiliki insting untuk keluar dari tekanan, terutama dalam keadaan genting dan kritis.

Data mengecoh

Wakil Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia Indra Kartasamita, Rabu (5/12), mengatakan, sudah biasa pengurus induk olahraga mengajukan proposal untuk uji coba ternyata sesudah di sana hanya berlatih tanpa sempat berkompetisi sekalipun. Tidak jarang mereka memberikan data yang mengecoh soal prestasi atletnya.

"Jadi, yang ada di kepala mereka adalah berbuat curang, bagaimana mengeruk duit dan menghamburkan uang rakyat. Sering kali mereka mengatakan atletnya menduduki peringkat atas di Asia dalam kejuaraan anu. Ternyata, si atlet hanya diturunkan di kejuaraan tingkat daerah dan itu pun hanya untuk para pelajar. Ditambah lagi mereka dengan yakin mengatakan akan meraih prestasi tertentu hanya dengan latihan singkat. Setahu saya, untuk mementaskan seorang juara, perlu waktu bertahun-tahun, bukan dengan langkah instan," ujar Indra yang juga pernah menjabat di Pengurus Besar Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia (PB Porlasi).

(Ida Setyorini, dari Nakhon Ratchasima)

Rabu, Desember 05, 2007

Catatan: Hati-hati Penyakit Mapan!

Sebuah tulisan dari seorang wartawan kompas : Pepih Nugraha. Sangat menarik. Mencerahkan.
Mas Pepih, mohon ijin untuk dikutip.
-------
Catatan: Hati-hati Penyakit Mapan!

Wartawan adalah Menulis

Penyakit wartawan adalah mapan. Maka, janganlah cepat menjadi mapan kalau ingin menjadi wartawan yang berkualitas. Penyakit mapan itu ibarat kanker yang siap menerjang dan menempelkan sakit kemana saja sesuai aliran darah yang mengalir di tubuh. Kalau penyakit mapan sudah menjalari tubuh wartawan, maka penyakit malas bisa merasuki tubuh. Mapan mengalir ke otak, ia akan menjadi malas berpikir dan menganalisis. Bila lari ke hati, ia menjadi malas bertindak, beranjak, dan bekerja. Tiba-tiba, tubuh merasa berat sekadar membaca hal-hal ringan, apalagi menghadapi layar komputer untuk menulis.

Sayangnya, banyak wartawan yang cepat merasa mapan. Merasa menjadi "penguasa" beat di posisi tertentu saja sudah merasa menjadi tahu segalanya. Sikap ini mengabaikan pendapat orang lain. Segala sesuatu tampak "sudah biasa" dan "bukan berita". Maka, ketajaman dan nalurinya sebagai seorang wartawan dengan sendirinya tumpul. Itu baru bicara posisi. Apalagi ia mendapat "jabatan" koordinator liputan, kepala biro, atau editor, yang pasti lebih memabukkan lagi. Ketajaman lapangannya mulai memudar. Mau ke lapangan, "ah 'kan ada wartawan bawahan yang kerja."

Nah, yang lebih gawat lagi bila mapan dalam pendapatan datang menyerang wartawan. Ini persoalan serius. Ketika segala hal berbau materi sudah didapat, dari jabatan, rumah sampai kendaraan, daya juang terhadap satu berita mulai mengendur. Maunya jalan-jalan saja sama keluarga, makan di restoran enak, tidur nyenyak di kamar ber-AC sambil nonton televisi atau main games. Perkara banjir Jakarta yang menenggelamkan 70 persen wilayah ibukota, menewaskan 80 warga dan menjadikan 350.000 warga mengungsi, apa urusannya. Ada wartawan dan editor lain yang bertanggung jawab.

Semua yang saya ceritakan di atas adalah penyakit wartawan. Tidak mutlak wartawan memang, tetapi juga penyakit para penulis umumnya. Seharusnya, memang jangan lekas merasa mapan! Ingatlah, dalam dunia wartawan tidak ada karya "master piece". Semua karya adalah "in the making", dalam proses. Selalu dalam proses. Kalau sudah merasa karya atau laporan kita "master piece", maka ketajaman terhadap hal-hal kecil tetapi pantas menjadi berita, berlalu begitu saja. Merasa pekerjaan (sebagai wartawan) sudah selesai.

Jabatan, rumah, kendaraan, harus dianggap sebagai "alat" semata, alat yang memudahkan wartawan bekerja, bukan tujuan. Komitmen terhadap keluarga harus lebih ditekankan lagi, bahwa mereka harus diberi tahu lagi mengenai risiko berayahkan atau beribukan seorang wartawan. Berdamailah dengan waktu. Dalam arti, ada saatnya kita menghabiskan waktu dengan keluarga, jika mereka menuntut. Pekerjaan memburu berita, tetaplah bisnis inti seorang wartawan, apapun jabatannya.

Di harian Kompas, setelah menjalani "pendaerahan" dengan memegang Indonesia Timur dan Jawa Timur, saya masih diberi kepercayaan untuk tetap duduk di struktural selaku wakil kepala desk investigasi. Tentu saja dengan iming-iming ini, saya (bergantian dengan kepala desk) tinggal merancang liputan untuk rubrik "Fokus" yang biasa muncul setiap hari Sabtu, lantas yang liputan lapangan orang lain. Uniknya, kalau mau, saya juga bisa meminta bantuan anggota desk lain di Jakarta, teman-teman dari daerah, tergantung bahasan "Fokus".

Untungnya, penyakit mapan yang biasa menjangkiti wartawan itu selalu saya halau dengan obat mujarab, obat yang ada dalam diri saya juga, yakni "keresahan": keresahan kalau tidak meliput, keresahan kalau tidak turun ke lapangan, keresahan kalau tidak bertemu orang (sumber), keresahan kalau terlalu lama di rumah, dan terutama... keresahan kalau tidak menulis! Ya, harus resah, sebab pekerjaan wartawan adalah menulis. Sekali lagi beruntung, sebab di desk "Fokus" setiap anggota desk, tidak terkecuali yang punya jabatan struktural, diwajibkan menulis, menulis, dan menulis. Ini menolong wartawan tidak cepat kena penyalit mapan itu tadi.
Maka, tidak aneh untuk mengejar waktu di lapangan, hal-hal praktis masih menjadi pertimbangan utama, yang penting bisa lekas sampai ke tujuan dengan cepat dan tepat dan tidak mengecewakan sumber. Jika punya kendaraan, janganlah digunakan kalau harus menerabas kemacetan untuk menemui Gubernur Sutiyoso di Jalan Medan Merdeka Selatan, misalnya. Ojek yang mangkal di depan kantor biasa menjadi langganan saya. Ke Balai Kota bisa kena Rp 25.000. Memang bisa lebih murah kalau menggunakan bus umum, cuma Rp 5.000. Tetapi waktu? Pasti jauh lebih lambat. Dengan taksi, selain pasti lebih mahal dibanding ojek, tetapi tidak menjamin perjalanan lancar. Ojek adalah pilihan praktis-strategis. Jangan gengsi!
Ke tempat lain ke Departemen Pekerjaan Umum untuk menemui seorang Dirjen, juga naik ojek dan pulang naik bajaj dengan total biaya Rp 30.000. Ini masih lebih mampu mengejar waktu dibanding membawa kendaraan sendiri. Tidak jarang juga harus jalan kaki, menembus banjir, hanya sekadar bertanya kepada para korban dan sesekali ikut merasakan penderitaan mereka. Kalau merasa mapan, bukankah lebih baik duduk-duduk saja di kantor atau bahkan tidur di rumah.

Jadi, hati-hatilah dengan penyakit mapan ini, kawan!
Jakarta, 12 Februari 2007

Sabtu, Desember 01, 2007

Selamat Tinggal Masa muda

Waktu memang penuh misteri.Tak ada yang mampu mengungkap jati dirinya. Hanya Dia pemilik alam ini yang mampu menaklukan sang Waktu. Sementara kita, adalah pengelana yang merupakan bagian dari misterinya dalam perjalanan pencarian.

Masa lalu adalah kenangan. Masa silam adalah sejarah.Toh, banyak memang yang menyesali. Tapi banyak yang mengharap semuanya terulang. Padahal tidak. Sejarah tidak pernah berulang.

Karenanya , Kevin Rudd sesaat setelah dipastikan terpilih sebagai PM Australia, dia tidak ingin bernostalgia dengan masa lalu. Dia tidak ingin bercerita tentang masa silam. Dia hanya ingin menatap masa depan. Dia mengajak rakyat Australia, tidak perlu lagi menoleh ke belakang. Biarlah itu menjadi masa lalu. Australia ke depan harus bagaimana, rakyat Australia-lah yang menentukan.

Tentu ini keluar dari mulut seorang yang memiliki visi ke depan (visioner). Orang-orang hebat seperti ini tentu akan memiliki hambatan ke depannya. Karena tetap saja, ada orang-orang yang masih berpijak pada masa lalu. Seolah-olah hidupnya berada di masa lalu, padahal raganya ada di masa kini.

Ya, bernostalgia mungkin boleh saja. Tapi tidak untuk hidup di masa dahulu.

Kita tinggal sesaat lagi di warsa 2007. Perlu perenungan memang. Terlalu banyak peristiwa yang telah kita alami. Tapi kita tentunya harus terus maju ke depan. Menatap ke depan.

Demi Waktu
Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi.
Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh
serta saling nasehat menasehati dalam kebaikan,
serta nasehat menasehati dalam kesabaran.

(Surat Al-Ashr 1-3)

Saya tinggalkan sebuah catatan dari Khalil Gibran untuk anda dalam The Prophet :
Selamat Tinggal Masa Muda

Selamat Tinggal masa muda
Yang kujalani bersamamu.
Rasanya baru kemarin, kita jumpa dalam
Mimpi yang sama,
Telah kuisi sunyinya hari-hariku denganTembang nyanyianmu.

Tabik.