Sabtu, November 10, 2007

Pilih Dibenci Penjahat daripada oleh Rakyat (Gamawan Fauzi - Gubernur Sumbar sekarang

Prolog :
Ternyata masih ada sosok yang tidak memuja harta dan kekayaan, apalagi jabatan. Saya pajang tulisan dari Koran Kompas di blog saya, untuk mengingatkan suatu hari, apabila Gamawan menjadi pejabat penting di republik ini, dan melakukan kebijakan yang tidak pro rakyat.

Salut untuk anda, Pak !

(dari seorang Rakyat yang merindukan sosok-sosok seperti Bung Hatta dan Anda. Thanks to Kompas, yang telah membuat tulisan ini. Terutama kepada Mas Sutta Dharmasaputra. Mohon ijin memajang tulisan ini di blog yang sangat sederhana ini. Tabik!)

--------
Sosok dan Pemikiran : Pilih Dibenci Penjahat daripada oleh Rakyat
(Kompas, edisi Sabtu, 12 november 2007)
wartawan Kompas : Sutta Dharmasaputra


Banyak politisi terjebak praktik korupsi. Menyunat anggaran negara agar kaya raya dianggap hal biasa. Rakyat sengsara cuma dianggap biasa. Gara-gara hadiah, kongkalikong dengan penguasa atau pengusaha dinilai lumrah. Sistem politik yang membutuhkan biaya tidak murah lalu dianggap sumber masalah.

Benarkah sistem politik biaya tinggi menjadi sumber kejahatan atau figur seorang pemimpin turut menentukan?

Sosok dan pemikiran Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi menarik disimak dan direnungkan. Peraih Bung Hatta Anti Corruption Award 2004 ini dalam Pemilihan Kepala Daerah 2005 ternyata tidak mengeluarkan uang satu sen pun. Namun, dia tetap memenangi pertandingan mengalahkan empat pasang kandidat lain.

Gamawan yang berpasangan dengan Marlis Rahman memperoleh 756.657 suara (41,54 persen) dari 1.821.446 suara sah. Dia juga menang di 17 kabupaten/kota dari total 19 kabupaten/kota yang ada.

Kini, Gamawan juga termasuk salah satu gubernur yang dilirik oleh sejumlah partai dan dinilai publik layak ikut Pemilu Presiden 2009.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Gamawan di sela-sela mengikuti acara pembekalan di Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta, Rabu (7/11).

Benarkah sistem politik saat ini menuntut biaya tinggi?

Saya sudah menjadi bupati di Solok selama dua periode, yaitu 1995-2000 dan 2000-2005. Saya merasakan pemilihan melalui DPR yang harus melalui tiga jalur atau pemilihan melalui DPRD di masa reformasi. Saya juga merasakan pemilihan kepala daerah langsung.

Semangat pemilihan langsung adalah berdemokrasi dengan lebih terbuka, tapi memang bukan tanpa efek samping. Saya pernah bertanya kepada seorang gubernur dan dia mengatakan menghabiskan uang Rp 100 miliar. Kalau habis Rp 100 miliar, berapa besar uang yang harus dia kembalikan?

Seandainya seorang bupati mengeluarkan Rp 5 miliar untuk pilkada pun tidak logis. Gaji bupati itu Rp 6,24 juta. Kalaupun ditambah dengan berbagai honor yang legal, paling banyak Rp 25 juta per bulan. Berarti, satu tahun barulah mencapai Rp 300 juta. Total dalam lima tahun hanya Rp 1,5 miliar.

Tabungan saya saat selesai menjadi bupati selama dua periode malah hanya Rp 350 juta karena saya menghapus berbagai honor. Saya punya rumah satu dan harta kekayaan sedikit, tapi tabungan hanya Rp 350 juta.

Berapa uang yang dikeluarkan saat pilkada gubernur?

Saat pilkada, saya tidak punya uang. Saya maju karena ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memiliki 4 kursi dan Partai Bulan Bintang yang memiliki 5 kursi menawarkan kendaraan. Saya sempat tanya, pakai uang tidak? Saat itu, dua partai itu menjawab tidak. Partai malah memberi uang untuk pilkada. Itu pun saya pertanggungjawabkan.

Banyak masyarakat juga membantu. Malah ada yang mengirim brosur lima kardus. Saya tidak tahu dari siapa.

Total pengeluaran selama pilkada sekitar Rp 3,5 miliar. Dari sejumlah itu, memang ada dari adik dan sanak keluarga yang membantu sekitar Rp 1 miliar. Tapi, saya tidak mengeluarkan satu sen pun.

Bagi saya kalau menang, ya menang. Kalau kalah, ya kalah. Saya berpikir, kalau saya mengeluarkan Rp 5 miliar, kewajiban untuk mengembalikan pun Rp 5 miliar. Dari mana uang itu akan saya paksakan. Kalau meminta dari pengusaha, saya juga harus memberi proyek. Sekarang, saya tidak ada beban. Tidak memberi proyek, tidak ada urusan, memberi proyek juga tidak ada urusan.

Berarti tidak benar kandidat miskin akan kalah?

Sekarang, rakyat itu lebih melihat figur. Kekuatan partai pun tidak memberi jaminan. Pilkada Sulawesi Selatan yang dimenangi Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang kembali menunjukkan itu. Pasangan Amin Syam-Mansyur Ramly diusung Partai Golkar dan PKS (58 persen); sedangkan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang diusung PDK, PAN, dan PDI-P (27 persen). Karena itu, calon pemimpin yang tidak punya uang, tapi punya idealisme, tidak perlu takut untuk maju asalkan populer dan menjadi panutan.

Yang memiliki kualitas individual baik, bersih, sesungguhnya banyak di negeri ini. Sayangnya, hanya populer di tingkat elite, tapi tidak cukup populer di rakyat. Agar bisa dikenal rakyat harus sosialisasi. Untuk populer itu butuh prestasi.

Perbaikan sistem

Salah satu kelemahan pilkada langsung selama ini, menurut Gamawan, partai lebih memaksimalkan figurnya sendiri walaupun di luar ada yang lebih berkualitas. Artinya, lebih mementingkan partai ketimbang bangsa.

"Parpol harus menjadi negarawan. Dia harus lebih cinta kepada bangsa ini ketimbang cinta pada partainya. Kalau perlu, seandainya ada figur yang baik, seharusnya partai yang menawar figur tersebut," ujarnya.

Kontrak politik antara partai politik dan calon pun bukan didasarkan pada bayaran, tapi pada perjuangan ideologi. Dikarenakan, sesungguhnya, partai politik merupakan alat untuk mencapai perjuangan politis. Sekarang ini banyak yang perjuangannya tidak jelas.

Sebaliknya, figur yang idealis juga tidak sekadar pilih kapal, tapi juga harus menumpang kapal karena benar-benar merasakan satu visi.

"Saya pernah bicara dengan salah satu partai, lalu ditanya saya punya uang berapa. Saya lalu katakan Anda tidak punya idealisme. Gak usahlah," paparnya.

Seandainya ada calon yang punya idealisme, jujur, menurut Gamawan, harus melewati partai atau masuk ke partai.

"Saya pun datang ke partai. Boleh tidak saya ikut? Tapi, saya tegaskan, tidak ada uang. Saya juga mempunyai prinsip, tidak mau sekadar menang, tapi memperjuangkan idealisme," ungkapnya lagi.


Terlepas dari itu semua, untuk memperbaiki kondisi ini, Gamawan berpendapat, tidak bisa diserahkan melalui individu-individu semata, tapi perlu ada perbaikan sistem, misalnya dalam Undang-Undang Partai Politik maupun pemilu.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah para peserta pemilu untuk terjebak pada perilaku menghamburkan uang yang besar adalah adanya pengaturan dalam undang-undang.

"Sekarang ini ada gejala sosial kalau Lebaran banyak calon yang membuat spanduk ucapan selamat dan memakai foto. Apakah ini bukan iklan? Kalau iklan seharusnya membayar pajak karena harus ada yang membersihkan kota. Meskipun ada perintah membersihkan tanda gambar, biasanya tidak pernah jalan," paparnya.

Menurut Gamawan, lokasi kampanye juga seharusnya dibatasi. Pemerintah setempat pun menentukan batas biaya. Demikian pula dengan biaya memasang iklan di media massa.

"Anda tidak boleh mengeluarkan biaya kampanye lebih dari Rp 1 miliar, misalnya. Kalau melanggar UU, langsung penalti," ujarnya.

Pemilu Presiden 2009

Saat ini Gamawan memang telah dilirik oleh partai maupun publik sebagai salah satu gubernur yang dianggap layak untuk untuk maju dalam Pemilu 2009. Namun, berbeda dengan calon lain, Gamawan justru malah menampik lamaran itu.

"Saya tidak bersedia. Saya melihat Indonesia sekarang ini memerlukan figur yang tidak normatif karena bangsa ini mempunyai banyak masalah. Perlu pemimpin yang berani ambil langkah yang tidak normal dengan segala risikonya. Saya ini birokrat yang dilatih bekerja dengan sistem, tidak melompat-lompat. Perlu figur yang berani ambil tindakan yang luar biasa," paparnya.

Menurut Gamawan, kalau memang cinta dengan bangsa ini, semua elemen harus jujur.

"Jangan selalu menyalahkan orang lain atau pemerintah, tapi apa yang sudah kita buat. Pemerintah juga introspeksi. Saya sebagai gubernur selalu katakan ini kelemahan saya. Tapi, rakyat juga harus katakan ini kelemahan saya," paparnya lagi.

Berbicara dengan Gamawan selama satu jam tidak seperti mewawancarai politisi atau pejabat aktif yang selalu hati-hati bicara. Pemikiran dan pandangannya diungkapkan terus terang.

Ketika ditanya kekayaannya, dia pun dengan cepat menyebutkan gajinya yang Rp 8,5 juta dan jika ditambah berbagai upah pungut sekitar Rp 100 juta per bulan. "Itulah harta kekayaan saya," ujarnya spontan dan mensyukuri.

Namun, dia tetap mempertahankan gaya hidup sederhana. Pengagum Bung Hatta ini mengaku masih mempertahankan mobil dinas Kijang. Agar tidak terjebak pada perilaku korup, prinsipnya sederhana. "Kalau kita baik itu maling marah. Kalau kita jahat, orang baik pasti marah. Pilih mana?" ucapnya.

Tidak ada komentar: